Rogers mengusap keringatnya dari dahi. Dia berkata dengan suara serak,
“Seperti mimpi buruk saja.”
Blore berkata sambil melihat curiga,
“Engkau sendiri bagaimana, Rogers? Punya pendapat?”
Pelayan itu menggelengkan kepala. Dia berkata dengan parau,
“Saya tidak tahu. Sama sekali tidak tahu. Dan itulah yang menakutkan bagi saya. Tidak punya pendapat apa-apa…”
Dokter Armstrong berkata marah,
“Kita harus keluar dari sini — harus — harus! Dengan risiko apa pun!”
Tuan Justice Wargrave memandang ke luar jendela. Dia mempermainkan tangkai kaca matanya. Dia berkata,
“Tentu saja saya bukan peramal cuaca. Tapi saya kira dalam waktu dua puluh empat jam tidak mungkin ada perahu yang akan kemari — meskipun mereka tahu keadaan kita. Dan seandainya ada, hanya akan mereka lakukan bila angin sudah berhenti.”
Dokter Armstrong menahan kepalanya dengan dua tangannya dan mengeluh.
Dia berkata,
“Dan sementara itu kita mungkin akan dibunuh di tempat tidur?”
“Saya harap tidak,” kata TuanJustice Wargrave. “Saya akan mencegah hal semacam itu.”
Dokter Armstrong berpikir bahwa seorang tua seperti Tuan Hakim itu tentunya lebih berhati-hati dalam hidup daripada orang muda. Dia sering menjumpal kenyataan itu dalam karir profesinya. Dan dia yang mungkin dua puluh tahun lebih muda dari hakim itu, mempunyai daya mempertahankan diri yang lebih rendah daripadanya.
Tuan Justice Wargrave berpikir:
“Pembunuhan di tempat tidur! Dokter-dokter itu semua sama saja — mereka selalu memikirkan sesuatu yang klise. Pikiran yang sangat sederhana.”
Dokter berkata,
“Ingat, sudah ada tiga korban.”
“Tentu saja. Tetapi Anda harus ingat bahwa mereka itu tidak siap diserang. Kita sudah diperingatkan.”
Dokter Armstrong berkata dengan getir,
“Apa yang akan kita lakukan? Cepat atau lambat —”
“Saya kira,” kata Tuan Justice Wargrave, “ada beberapa hal yang bisa kita lakukan.”
Armstrong berkata,
“Kita bahkan tidak tahu siapa dia-”
Tuan Hakim mengelus dagunya dan menggumam,
“Oh, saya tidak berpendapat begitu.”
Armstrong menatapnya.
“Maksud Anda, Anda tahu ?”
Tuan Justice Wargrave berkata dengan hati-hati,
“Terus terang saja saya memang tidak punya bukti-bukti yang memang diperlukan pada sidang pengadilan. Tetapi kalau kita kaji semuanya, ada seseorang yang kelihatan cukup jelas. Ya, saya kira begitu.”
Armstrong menatapnya.
Dia berkata,
“Saya tidak mengerti.”
Nona Brent naik ke atas dan masuk ke dalam kamarnya.
Dia mengambil Alkitab -nya dan duduk di dekat jendela.
Dia membuka Alkitab . Kemudian, setelah ragu-ragu sebentar, diletakkannya buku itu dan dia melangkah ke meja rias. Dari laci dikeluarkannya sebuah buku catatan bersampul hitam.
Dibukanya buku itu dan dia mulal menulis.
“Sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Jenderal Macarthur meninggal (kemenakannya menikah dengan Elsie MacPherson). Tidak diragukan lagi bahwa dia dibunuh. Setelah makan siang, Tuan Hakim berpidato sangat menarik. Dia yakin bahwa pembunuh itu adalah salah satu dari kami. Ini berarti bahwa salah seorang dari kami dikuasai roh jahat. Saya sudah mencurigai hal itu.
Siapa? Mereka masing-masing menanyakan hal yang sama. Saya sendiri tahu… Dia sesaat duduk tidak bergerak. Matanya menjadi kabur dan berkaca-kaca. Pensil itu tetap menari-nari dalam jari-jarinya. Dengan huruf-huruf besar yang tidak rapi karena tangannya gemetar dia menulis:
“NAMA PEMBUNUH ITU ADALAH BEATRICE TAYLOR…”
Matanya tertutup.
Tiba-tiba dia terkejut. Dia melihat bukunya.
Dengan seruan marah mencoret huruf-huruf yang tertulis miring dan kabur itu.
Dia berkata dengan suara rendah,
“Apakah saya yang menulis itu? Saya? Saya pasti sudah gila…”
Badai bertambah kencang. Angin menderu menghempas sisi rumah.
Semua orang ada di ruang keluarga. Merrka duduk bergerombol dengan lesu. Dan, dengan sembunyi-sembunyi, mereka saling memperhatikan.
Ketika Rogers membawa masuk nampan teh, mereka semua meloncat. Dia berkata,
“Apakah tirai itu perlu ditutup? Akan kelihatan menyenangkan.”
Setelah mereka menyatakan setuju, tirai itu pun ditutup dan lampu dinyalakan. Ruangan menjadi lebih semarak.
Bayang-bayang gelap sedikit terangkat. Tentunya besok pagi badai akan berhenti dan seseorang akan datang — sebuah perahu motor akan datang.
Vera Daythorne berkata,
“Apakah Anda akan menuangkan teh ini, Nona Brent?”
Wanita tua itu menjawab,
“Tidak, Anda saja. Teko teh itu terlalu berat. Dan saya kehilangan dua gelendong benang rajut abu-abu. Menjengkelkan.”
Vera melangkah ke meja teh. Terdengar bunyi riang dentingan barang-barang porselin. Suasana normal telah kembali.
Teh!. Teh sore hari yang menyenangkan! Philip Lombard mengatakan sesuatu yang menggembirakan. Blore menanggapi. Dokter Armstrong mengisahkan cerita lucu, Tuan Justice Wargrave yang biasanya tidak suka the menghirup tehnya dengan senang.
Dalam suasana santai itu Rogers datang.
Dan Rogers kebingungan. Dia berkata dengan gugup dan kacau,
“Maaf, Tuan, tapi apakah ada yang tahu di mana tirai kamar mandi?”
Kepala Lombard tersentak.
“Tirai kamar mandi? Apa maksudmu, Rogers?”
“Tirai itu hilang, Tuan. Lenyap. Saya berkeliling menutup semua tirai, tapi tirai yang di kamar mandi tidak ada.”
Tuan Justice Wargrave bertanya,
“Apakah tadi pagi tirai itu masih ada?”
“Oh, ya Tuan.”
Blore berkata,
“Seperti apa tirai itu?”
“Sutera merah, Tuan. Cocok dengan porselin kamar mandi.”
Lombard berkata,
“Dan sekarang hilang?”
“Hilang, Tuan.”
Mereka saling berpandangan.
Blore berkata dengan berat,
“Yah — mau apa? Memang gila — tapi hal-hal lain pun demikian. Tidak apa-apa. Tidak bisa membunuh orang dengan tirai sutera. Lupakan saja.”
Rogers berkata:
“Ya, Tuan, terima kasih, Tuan.”
Dia keluar dan menutup pintu.
Selubung ketakutan kembali datang di dalam ruangan itu.
Lagi-lagi, dengan sembunyi-sembunyi mereka saling memperhatikan.
Makan malam tiba, dihabiskan, dan dibersihkan. Makanan yang sederhana, kebanyakan makanan kaleng.
Setelah makan mereka pergi ke ruang keluarga.
Ketegangan itu terasa begitu berat untuk dipikul.
Pada jam sembilan Emily Brent berdiri.
Dia berkata,
“Saya akan tidur.”
Vera berkata,
“Saya juga.”
Kedua wanita itu naik ke atas dengan diantar oleh Lombard dan Blore. Sambil berdiri di atas tangga kedua laki-laki itu memperhatikan kedua wanita itu masuk ke kamar masing-masing dan mengunci pintu.
Mereka mendengar suara kunci diputar.
Blore berkata dengan menyeringai,
“Tidak perlu lagi menyuruh mereka mengunci pintu!”
Lombard berkata,
“Yah, setidak-tidaknya untuk malam ini mereka selamat!”
Dia turun diikuti Tuan Blore.
Satu jam kemudian keempat laki-laki itu masuk ke kamar masing-masing. Mereka naik bersama-sama. Rogers yang sedang berada di ruang makan dan menylapkan meja untuk esok pagi melihat mereka berempat naik tangga. Dia mendengar mereka berhenti di ujung tangga.
Lalu terdengar suara Tuan Hakim,
“Rasanya saya tidak perlu mengingatkan Anda untuk mengunci pintu kamar.”
Blore berkata,
“Juga sebaiknya Anda meletakkan kursi di bawah handel pintu. Kunci bisa dibuka dari luar.”
Lombard bergumam,
“Blore, rasanya Anda terlalu banyak tahu!”
Читать дальше