Tiba tiba Anthony Marston berkata?
“Benda-benda ini menarik sekali, bukan?”
Di tengah meja bundar, di atas tempat gelas terdapat boneka-boneka porselin.
“Negro,” kata Tony. “Pulau Negro. Aku rasa itulah maksudnya.”
Vera membungkuk ke depan.
“Saya heran. Ada berapa? Sepuluh?”
Vera berteriak,
“Lucu! Ada syair Sepuluh Anak Negro . Di kamar saya syair itu diberi bingkai dan diletakkan di atas perapian.”
Lombard berkata,
“Di kamar saya juga.”
“Dan kamar saya.”
“Dan kamar saya.”
Setiap orang mengatakannya. Vera berkata,
“Pikiran yang lucu, bukan?”
Tuan Justice Wargrave menggerutu, “Sangat kekanak-kanakan.” Dan dia minum anggur lagi.
Emily Brent memandang Vera Daythorne. Vera Daythorne memandang Nona Brent. Kedua wanita itu bangkit berdiri.
Di ruang tamu jendela jendela besar terbuka ke teras. Suara ombak terdengar gemerisik memukul karang.
Emily Brent berkata, “Suara yang menyenangkan.”
Vera berkata dengan tajam, “Saya benci dengan suara itu.”
Mata Nona Brent memandangnya dengan heran.
Muka Vera menjadi merah. Dia berkata dengan emosi yang lebih terkendali,
“Saya rasa tempat ini sangat tidak menyenangkan bila ada badai.”
Emily Brent menyetujuinya.
“Saya yakin rumah ini pasti ditutup pada musim salju,” katanya. “Tidak akan ada pembantu yang mau tinggal di sini.”
Vera menggumam,
“’Memang sulit mencari pembantu.”
Emily Brent berkata,
“Nyonya Oliver beruntung mendapat dua orang itu. Wanita itu pandai memasak.”
Vera berpikir: “Orang-orang tua itu lucu. Mereka selalu salah dalam menyebut nama.”
Dia berkata,
“Ya, saya rasa Nyonya Owen memang beruntung.”
Emily Brent mengeluarkan sulaman kecil dari tasnya. Ketika dia akan menusukkan jarumnya dia tertegun.
Dia berkata dengan tajam,
“Owen? Anda tadi menyebut Owen?”
“Ya.”
Emily Brent berkata dengan tajam,
“Saya tidak pernah mempunyai kenalan bernama Owen.”
Vera membelalak.
“Tapi tentunya —”
Dia tidak meneruskan kalimatnya. Pintu terbuka dan tamu tamu lain ikut bergabung dengan mereka.
Rogers mengikuti mereka dengan nampan kopi.
Tuan Hakim masuk dan duduk dekat Emily Brent. Armstrong mendekati Vera. Tony Marston melangkah ke jendela yang terbuka. Blore memperhatikan patung kuningan kecil dengan heran — mungkin bertanya-tanya apakah patung yang aneh itu patung wanita. Jenderal Macarthur berdiri dengan punggung menghadap perapian. Dia memilin kumis kecilnya yang putih. Makanan tadi enak sekali. Semangatnya timbul. Lombard membalik-balik halaman Punch yang terletak pada tumpukan koran di meja dekat dinding.
Rogers berkeliling dengan nampan kopinya.
Kopinya enak hitam dan panas.
Semua rombongan telah makan malam. Mereka puas dengan dirinya sendiri dan dengan hidup ini. Jarum jam menunjukkan jam sembilan lebih dua puluh menit. Ruangan itu hening — hening yang menyenangkan.
Dan dalam keheningan itu datanglah Sang Suara. Tanpa pemberitahuan, tanpa berperikemanusiaan, menembus tajam…
“Tuan tuan dan Nona nona! Harap tenang!
Setiap orang terkejut. Mereka melihat berkeliling, melihat satu sama lain, melihat ke dinding. Siapa yang berbicara?
Suara itu terdengar lagi tinggi dan jelas:
“Anda semua bertanggungjawab atas tuduhan berikut:
‘Edward George Amrstrong, apa yang Anda kerjakan pada tanggal 14 Maret 1925, menyebabkan kematian Louisa Marv Dees.’
‘Emily Caroline Brent, pada tanggal 5 Nopember 1931 Anda bertanggungjawab atas kematian Beatrice Taylor.’
‘William Henry Blore, Anda menyebabkan kematian Jows Stephen Landor pada tanggal 10 Oktober 1928.’
‘Tera Elizabeth Daythorne, pada tanggal 11 Agustus 1935 Anda membunuh Cyril Ogilvie Hamilton.’
‘Philip Lombard, pada bulan Pebruari 1932 Anda bersalah atas kematian dua puluh satu orang suku Afrika Tunur.’
‘John Gordon Macarthur, pada tanggal 14 Januari 1917 Anda dengan sengaja membunuh pacar istri Anda, Arthur Richmond.’
‘Anthony james Marston, pada tanggal 14 Nopember tahun lalu Anda bersalah atas kematian John dan Lucy Combes.’
‘Thomas Rogers dan Ethel Rogers, pada tanggal 6 Mei 1929 Anda menyebabkan kematian Jennifer Brady.’
‘Lawrence John Wargrave, pada tanggal 10 Juni 1930 Anda bersalah atas kematian Edward Seton.’
‘Terdakwa, apakah Anda ingin mengajukan pembelaan?’ ”
Suara itu berhenti.
Keheningan menyapu ruangan itu, dan kemudian terdengar suara barang pecah! Rogers menjatuhkan nampan kopinya!
Pada waktu yang sama, dari luar ruangan terdengar jeritan dan suara berdebam.
Lombard yang pertama bergerak. Dia meloncat ke pintu dan membukanya lebar-lebar. Di luar, Nyonya Rogers tergeletak.
Lombard memanggil,
“’Marston.”
Anthony melompat untuk membantu. Mereka mengangkat wanita itu dan membawanya ke dalam ruangan.
Dokter Armstrong mendekat. Dia membantu mereka mengangkat Nyonya Rogers ke atas soffa, dan memeriksanya. Dia cepat-cepat berkata,
“Tidak apa-apa. Dia hanya pingsan. Sebentar lagi akan sadar.”
Lombard berkata kepada Rogers,
“Ambilkan brandy .”
Dengan muka pucat dan tangan gemetar Rogers menggumam, “Baik, Tuan,” dan menyelinap ke luar dengan cepat.
Vera berteriak,
“Siapayang berbicara? Di mana dia? Kedengarannya — kedengarannya –”
Jenderal Macarthur menyahut dengan gugup,
“Apa yang terjadi di sini? Lelucon apa ini?”
Tangannya gemetar. Bahunya lemas. Tiba tiba saja dia kelihatan sepuluh tahun lebih tua.
Blore mengusap mukanya dengan sapu tangan. Hanya Tuan Justice Wargrave dan Nona Brent yang tidak terpengaruh. Emily Brent duduk tegak dengan kepala dijaga tegak. Pada kedua pipinya ada setitik warna. Tuan Hakim duduk dengan sikap biasa, kepalanya, terbenam pada lehernya. Tangannya menggaruk telinganya. Hanya matanya yang sibuk bekerja, menyelidik ke seluruh ruangan, bingung, tetapi siap siaga.
Sekali lagi, Lombard-lah yang memulai. Ketika Armstrong sibuk dengan wanita yang pingsan itu Lombard bebas untuk mengambil inisiatif.
Dia berkata,
“Suara itu? Kedengarannya ada di dalam ruangan.”
Vera berteriak,
“Siapa dia? Siapa? Bukan salah seorang dari kita.” Seperti Tuan Hakim, perlahan-lahan mata Lombard menjelajah ruangan. Mata itu berhenti sejenak pada jendela yang terbuka, lalu dia menggeleng dengan pasti. Tiba-tiba matanya bersinar. Dia melangkah cepat ke arah pintu di dekat perapian yang menghubungkan ruangan itu dengan ruangan lain.
Dengan gesit dipegangnya handel pintu dan dibukanya pintu itu lebar-lebar. Dia masuk dan berteriak dengan puas.
Dia berkata,
“Ah, ini dia.”
Yang lain beramai-ramai mengikutinya. Hanya, Nona Brent yang tetap duduk.
Di dalam ruangan itu terletak sebuah meja yang ditempelkan ke dinding ruang tamu. Di atas meja itu terdapat sebuah gramophon kuno dengan terompet besar. Mulut terompet itu menempel pada dinding. Ketika Lombard memiringkan terompet itu terlihat-lah tiga lubang pada dinding.
Lombard membetulkan letak gramophon itu dan memasang jarumnya pada piringan. Maka mereka pun segera mendengar lagi “Anda bertanggungjawab atas tuduhan berikut —”
Vera berteriak,
“Matikan! Matikan! Suaraitu mengerikan!”
Lombard menurut.
Dokter Armstrong berkata dengan lega,
“Lelucon yang memalukan dan tak berperasaan.”
Suara Tuan Justice Wargrave yang kecil dan nyaring terdengar bergumam,
“Jadi Anda mengira ini suatu lelucon?” Tuan Dokter memandangnya.
Читать дальше