Kesiap marah menyebar di seluruh ruangan itu; lusinan ksatria tangguh saling berbisik, diliputi dengan ketakutan, dan suasana panik menyebar seperti kobaran api.
“Itu tidak boleh terjadi!” seru salah satu prajurit.
“Ya!” anggota dewan bersikeras.
“Maka semua harapan musnah!” teriak prrajurit lain. “Jika McCloud sudah diserbu, selanjutnya Kekaisaran akan datang untuk Istana Raja. Tak mungkin kita bisa menahan mereka.”
“Kita harus mendiskusikan syarat-syarat untuk menyerah, baginda,” ujar Aberthol kepada Gareth.
“Menyerah!?” teriak pria lain. “Kita tidak akan pernah menyerah!”
“Jika tidak,” prajurit lain berteriak, “kita akan dihancurkan. Bagaimana kita bisa bertahan terhadap satu juta pasukan?”
Ruangan itu pecah menjadi gumaman marah, prajurit dan dewan berdebat satu sama lain, semua dalam kekacauan.
Pemimpin dewan menghantamkan tongkat besinya di lantai batu dan berteriak:
“DIAM!”
Perlahan-lahan, ruangan itu hening. Semua orang berpaling dan menatap ke arahnya.
“Itu semua adalah keputusan bagi seorang raja, bukan kita,” salah satu anggota dewan berkata. “Gareth adalah Raja yang sah, dan bukan kita yang membahas syarat-syarat penyerahan diri – atau seandainya tidak menyerah.”
Mereka semua berpaling kepada Gareth.
“Baginda,” ujar Aberthol, kelelahan dalam suaranya, ”bagaimanakah Anda mengajukan cara kita menangani pasukan Kekaisaran?”
Ruangan itu menjadi sangat hening.
Gareth duduk di sana, menatap orang-orang, yang menunggu jawaban. Tapi semakin sulit baginya untuk mempertahankan pikirannya tetap jernih. Ia terus mendengar suara ayahnya di dalam kepalanya, berteriak kepaadanya, seperti saat ia masih kecil. Itu membuatnya gila, dan suara itu tak mau hilang.
Gareth mengulurkan tangan dan menggores senjata kayu singgasananya, lagi dan lagi. Suara kuku jarinya hanyalah satu-satunya suara di dalam ruangan itu.
Para anggota dewan bertukar pandang dengan khawatir.
“Baginda,” anggota dewan lain mengulangi, “jika Anda memilih untuk tidak menyerah, maka kita harus membentengi Istana Raja segera. Kita harus mengamankan semua jalan masuk, semua jalan, semua gerbang. Kita harus memanggil para prajurit, menyiapkan pertahanan. Kita harus bersiap-siap terhadap serangan, menimbun makanan, melindungi rakyat kita. Ada banyak sekali hal yang harus dilakukan. Tolonglah, tuanku. Berikan kami sebuah perintah. Katakan kepada kami apa yang harus dilakukan.
Sekali lagi ruangan itu menjadi sunyi, semua mata tertuju kepada Gareth.
Akhirnya, Gareth mengangkat dagunya dan mendongak.
“Kita tidak akan melawan Kekaisaran,” ia mengumumkan. “Kita juga tidak akan menyerah.”
Semua orang dalam ruangan itu saling berpandangan, bingung.
“Lalu, apa yang kita lakukan, tuanku?” tanya Aberthol.
Gareth berdeham.
“Kita harus membunuh Gwendolyn!” Gareth menegaskan. “Itulah yang penting sekarang.”
Muncullah kesunyian terkejut.
“Gwendolyn?” seorang anggota dewan berseru terkejut saaat ruangan itu pecah menjadi gumaman terkejut.
“Kita akan mengirimkan semua pasukan kita untuk mengejarnya, untuk membantainya dan mereka yang bersamanya sebelum mereka mencapai Silesia,” Gareth mengumumkan.
“Tapi, tuanku, bagaimanakah hal ini bisa membantu kita?” seru seorang anggota dewan. “Jika mengambil risiko untuk menyerangnya, itu hanya akan membuat pasukan kita terlihat. Mereka semua akan dikepung dan dibantai oleh Kekaisaran.”
“Itu juga akan membuat Istana Raja terbuka terhadap serangan!” seru yang lain. “Jika kita tidak akan menyerah, kita harus membentengi Istana Raja segera!”
Gareth berpaling dan melihat ke arah anggota dewan itu, matanya dingin.
“Kita akan menggunakan semua orang yang kita punya untuk membunuh saudariku!” ujarnya suram. “Kita tidak akan meloloskan satu orang pun!”
Ruangan itu menjadi hening saat anggota dewan itu mendorong kursinya, menggesek lantai batu, dan berdiri.
“Saya tidak akan melihat Istana Raja hancur karena obsesi pribadi Anda. Saya, sendirian, tidak mendukung Anda!”
“Saya juga!” gema setengah pria di dalam ruangan itu.
Gareth merasakan dirinya terbakar kemarahan, dan baru akan berdiri ketika tiba-tiba pintu menuju ruangan itu terkuak terbuka dan segera masuklah komandan dari pasukan yang tersisa. Semua mata tertuju padanya. Dia menyeret seseorang dalam lengannya, seorang berandalan dengan rambut licin, brewok, terikat pergelangan tangannya. Dia menyeret pria itu sepanjang jalan menuju ke tengah ruangan dan berhenti di hadapan raja.
“Baginda,” ujar komandan itu dengan dingin. “Dari enam pencuri yang dieksekusi atas pencurian Pedang Takdir, pria inilah yang ketujuh, seseorang yang kabur. Dia menceritakan kisah paling menakjubkan tentang apa yang telah terjadi.
“Bicaralah!” desak komandan itu, menggoyang berandalan itu.
Berandalan melihat dengan gugup ke segala arah, rambut licinnya menempel di pipinya, terlihat tidak yakin. Akhirnya, dia berseru:
“Kami diperintahkan untuk mencuri pedang itu!”
Ruangan itu pecah menjadi gumaman marah.
“Ada sembilan belas dari kami!” lanjut berandalan itu. “Selusin dari kami adalah untuk membawanya pergi, di dalam naungan kegelapan, menyeberangi jembatan Ngarai, dan menuju ke alam liar. Mereka menyembunyikannya di dalam sebuah kereta dan membawanya menyeberangi jembatan sehingga prajurit yang berjaga tak akan tahu apa yang ada di dalamnya. Yang lain, tujuh dari kami, diperintahkan untuk tetap tinggal setelah pencurian itu. Kami diberitahu bahwa kami akan dipenjarakan, seperti sebuah pertunjukan, dan kemudian dibebaskan. Tapi sebaliknya, semua teman-teman saya dieksekusi. Saya juga akan dieksekusi, jika saya tidak kabur.”
Ruangan itu berubah menjadi gumaman gelisah yang panjang.
“Dan ke manakah mereka membawa pedang itu?” desak komandan.
“Saya tidak tahu. Di suatu tempat jauh di dalam Kekaisaran.”
“Dan siapakah yang memerintahkan hal semacam itu?”
“Dia!” kata berandalan itu, tiba-tiba berpaling dan mengacungkan telunjuknya pada Gareth. “Raja kita! Dia memerintahkan kami untuk melakukan hal itu!”
Ruangan itu pecah menjadi gumaman ngeri, muncullah seruan, sampai akhirnya seorang anggota dewan memukulkan tongkat besi beberapa kali dan berteriak menyuruh diam.
Ruangan itu terdiam, tapi nyaris sunyi.
Gareth, sudah gemetar takut dan marah, berdiri perlahan-lahan dari singgasanaya, dan ruangan itu hening, saat semua mata tertuju padanya.
Satu demi satu langkah, Gareth menuruni anak tangga berwarna gading, langkah kakinya bergema, keheningan begitu pekat sehingga seseorang bisa memotongnya dengan sebilah pisau.
Ia menyeberangi ruangan itu, sampai akhirnya ia mencapai berandalan itu. Dia menatapnya dengan dingin, dari jarak satu kaki, pria itu menggeliat di dalam lengan komandan, melihat ke segala arah selain dirinya.
“Pencuri dan pembohong hanya berurusan dengan satu cara di kerajaanku,” ujar Gareth lembut.
Gareth tiba-tiba menarik sebilah belati dari pinggangnya dan menikamkannya ke jantung berandalan itu.
Pria itu berteriak kesakitan, matanya terbelalak, kemudian tiba-tiba merosot jatuh ke lantai, mati.
Komandan itu menatap Gareth, dengan tatapan mencemooh.
“Anda baru saja membunuh seorang saksi yang melawan Anda,” ujar komandan itu. “Tidakkah Anda menyadari bahwa hal itu hanya akan mendukung secara tak langsung terhadap kesalahan Anda?”
“Saksi apa?” Gareth bertanya, tersenyum. “Orang mati tidak berbicara.”
Komandan itu memerah.
“Seandainya Anda lupa, saya adalah komandan dari setengah pasukan Raja. Saya tidak akan bermain-main. Dari tindakan Anda, saya hanya bisa menduga bahwa Anda bersalah atas kejahatan yang dia tuduhkan kepada Anda. Sehingga, saya dan pasukan saya tidak akan mengabdi kepada Anda lagi. Malahan, saya akan membawa Anda ke dalam tahanan, menghukum Anda atas pengkhinatan terhadap Cincin!”
Читать дальше