Андреа Хирата - Laskar Pelangi
Здесь есть возможность читать онлайн «Андреа Хирата - Laskar Pelangi» весь текст электронной книги совершенно бесплатно (целиком полную версию без сокращений). В некоторых случаях можно слушать аудио, скачать через торрент в формате fb2 и присутствует краткое содержание. Год выпуска: 2005, ISBN: 2005, Издательство: Penerbit Bentang, Жанр: Старинная литература, id. Описание произведения, (предисловие) а так же отзывы посетителей доступны на портале библиотеки ЛибКат.
- Название:Laskar Pelangi
- Автор:
- Издательство:Penerbit Bentang
- Жанр:
- Год:2005
- ISBN:9789793062792
- Рейтинг книги:3 / 5. Голосов: 1
-
Избранное:Добавить в избранное
- Отзывы:
-
Ваша оценка:
- 60
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
Laskar Pelangi: краткое содержание, описание и аннотация
Предлагаем к чтению аннотацию, описание, краткое содержание или предисловие (зависит от того, что написал сам автор книги «Laskar Pelangi»). Если вы не нашли необходимую информацию о книге — напишите в комментариях, мы постараемся отыскать её.
Laskar Pelangi — читать онлайн бесплатно полную книгу (весь текст) целиком
Ниже представлен текст книги, разбитый по страницам. Система сохранения места последней прочитанной страницы, позволяет с удобством читать онлайн бесплатно книгу «Laskar Pelangi», без необходимости каждый раз заново искать на чём Вы остановились. Поставьте закладку, и сможете в любой момент перейти на страницу, на которой закончили чтение.
Интервал:
Закладка:
Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan tergulingguling yang menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya berkalikali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan, dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang karena ketololan yang disengaja yang secara tidak sadar digerakkan oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anakanak Melayu tak mampu.
Bab 16
Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau
NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku berada di kelas dua SMP. Kemarau masih belum mau pergi. Pohonpohon angsana1 menjadi gundul, bambu-bambu kuning meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihempas kendaraan, mengembuskan debu yang melekat pada sirip-sirip daun jendela kayu. Kota kecilku kering dan bau karat.
Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya: mandi saat tengah hari, menyisir rambutnya yang masih basah ke belakang, lalu memotongi ujung-ujung kukunya dengan antip. Hanya mereka yang tampak sedikit bersih pada bulan-bulan seperti ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiang-tiang rumah panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah atap seng tak berplafon dan terlalu lelah untuk kembali bekerja, dilematis. Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya melewati jalan raya membawa balok-balok es dan botol sirop Capilano. Hawa pengap tak ‘kan menguap sampai malam. Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis, dingin tak terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari tempat tidur dan shalat subuh di masjid.
Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau kecil yang dikelilingi samudra. Karena itu kemarau di kampung kami menjadi sangat tidak menyenangkan. Kepekatan oksigen menyebabkan tubuh cepat lelah dan mata mudah mengantuk. Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham maksud saya. Bulan ini amat semarak karena banyak perayaan berkenaan dengan hari besar negeri ini. Agustus, semuanya serba menggairahkan!
Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan setiap bulan Agustus, antara lain berkemah! Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berekreasi ke Tanjong Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandan, bahkan verloop* bersama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa. Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai, aku tak pernah bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir pantai aku selalu merasa terkejut, persis seperti pasukan Alexander Agung pertama kali menemukan India. Jika laut berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuhi bebatuan sebesar rumah dan pohon-pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengenai Pangkalan Punai. Tak jauh dari pantai mengalirlah anak-anak sungai berair payau dan di sanalah para penduduk lokal tinggal di dalam rumah panggung tinggi-tinggi dengan formasi berkeliling. Mereka juga orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan. Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hutan lalu di tengahnya mengalir anak-anak sungai dan posisinya cenderung menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi lanskap hasil karaya tangan Tuhan. Keindahan seperti digambarkan dalam bukubuku komik Hans Christian andersen. Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit kecil di sisi barat daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang berlama-lama duduk sendiri di punggung bukit ini. Mendengar sayup-sayup suara anak-anak nelayan — laki-laki dan perempuan — menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang nun di bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pukul empat sore, sinar matahari akan mengguyur barisan pohon cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang lebih tinggi di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepohonan cemara angin itu membentuk segitiga gelap raksasa, persis di tempat aku duduk. Sebaliknya, di sisi lain, sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas permukaan pantai yang dangkal, sehingga dari kejauhan dapat kulihat pasir putih dasar laut. Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan pemandangan padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti rumput-rumput tinggi, menjerit-jerit tak karuan, berebutan tempat tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa bersaling-silang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa khas Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian Laut Cina Selatan yang biru berkilauan dan luas tak terbatas. Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran sungai payau tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang dicairkan. Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah, ke arah formasi rumah panggung yang berkeliling tadi, maka sinar matahari yang mulai jingga jatuh persis di atas atap-atap daun nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya dedaunan pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar serabut kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu, diiringi suara azan magrib, merayap menembus celah-celah atap daun, hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu, lamat-lamat merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu hilang tersapu semilir angin, ditelan samudra luas. Dari balik jendela-jendela kecil rumah panggung yang berserakan di bawah sana sinar lampu minyak yang lembut dan kuntum-kuntum api pelita menari-nari sepi.
Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian berupa karangan, lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku.
Aku Bermimpi Melihat Surga
Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga
Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah hutan
Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci
Aku meniti jembatan kecil
Seorang wanita berwajah jernih menyambutku
“Inilah surga” katanya.
Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah
Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja
Menyirami kubah-kubah istana
Mengapa sinar matahari berwarna perak, jingga, dan biru?
Sebuah keindahan yang asing
Di istana surga
Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi yang bertingkat-tingkat
Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam
Menebarkan rasa kesejukan
Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu
Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna biru
Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah sekali
Sinarnya memancarkan kedamaian
Tembus membelah perdu-perdu di halaman
Surga begitu sepi
Tapi aku ingin tetap di sini
Karena kuingat janjimu Tuhan
Kalau aku datang dengan berjalan
ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari
Dengan puisi ini, untuk pertama kalinya aku mendapat nilai kesenian yang sedikit lebih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Puisiku ini membuktikan bahwa karya seni yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya seni yang jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup penting mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian tertinggi seperti baisanya. Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius yang dinamai orang-orang Belitong sebagai burung pelintang pulau. Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk gaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya.
Читать дальшеИнтервал:
Закладка:
Похожие книги на «Laskar Pelangi»
Представляем Вашему вниманию похожие книги на «Laskar Pelangi» списком для выбора. Мы отобрали схожую по названию и смыслу литературу в надежде предоставить читателям больше вариантов отыскать новые, интересные, ещё непрочитанные произведения.
Обсуждение, отзывы о книге «Laskar Pelangi» и просто собственные мнения читателей. Оставьте ваши комментарии, напишите, что Вы думаете о произведении, его смысле или главных героях. Укажите что конкретно понравилось, а что нет, и почему Вы так считаете.