Андреа Хирата - Laskar Pelangi
Здесь есть возможность читать онлайн «Андреа Хирата - Laskar Pelangi» весь текст электронной книги совершенно бесплатно (целиком полную версию без сокращений). В некоторых случаях можно слушать аудио, скачать через торрент в формате fb2 и присутствует краткое содержание. Год выпуска: 2005, ISBN: 2005, Издательство: Penerbit Bentang, Жанр: Старинная литература, id. Описание произведения, (предисловие) а так же отзывы посетителей доступны на портале библиотеки ЛибКат.
- Название:Laskar Pelangi
- Автор:
- Издательство:Penerbit Bentang
- Жанр:
- Год:2005
- ISBN:9789793062792
- Рейтинг книги:3 / 5. Голосов: 1
-
Избранное:Добавить в избранное
- Отзывы:
-
Ваша оценка:
- 60
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
Laskar Pelangi: краткое содержание, описание и аннотация
Предлагаем к чтению аннотацию, описание, краткое содержание или предисловие (зависит от того, что написал сам автор книги «Laskar Pelangi»). Если вы не нашли необходимую информацию о книге — напишите в комментариях, мы постараемся отыскать её.
Laskar Pelangi — читать онлайн бесплатно полную книгу (весь текст) целиком
Ниже представлен текст книги, разбитый по страницам. Система сохранения места последней прочитанной страницы, позволяет с удобством читать онлайн бесплатно книгу «Laskar Pelangi», без необходимости каждый раз заново искать на чём Вы остановились. Поставьте закладку, и сможете в любой момент перейти на страницу, на которой закончили чтение.
Интервал:
Закладка:
Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku melepaskan lengan ayahku dari pundakku. Sahara menangis terisak-isak mendekap ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu, kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku, botol air minum, dan tas punggung yang semuanya baru.
Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para orangtua menepuk-nepuk bahunya untuk membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan kata pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu.
“Harun!”
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandengnya.
Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak Harfan.
“Bapak Guru...,” kata ibunya terengah-engah.
“Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau Bangka, dan kami tak punya biaya untuk menyekolahkannya ke sana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia di sekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar-ngejar anak-anak ayamku...”
Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang. Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya.
“Genap sepuluh orang...,” katanya.
Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak. Sahara berdiri tegak merapikan lipatan jilbabnya dan menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras.
Bab 2
Antediluvium
IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk kami. Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. Semua telah masuk ke dalam kelas, telah mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau hangus seperti karet terbakar.
“Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku.
Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang aneh. Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas. Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia memberontak, menepis pegangan ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri. Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang, tak mau turun lagi. Ayahnya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja meloncati nasib, merebut pendidikan. Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti termasuk dalam sebagian besar warga negara Indonesia yang menganggap bahwa pendidikan bukan hak asasi.
Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin mem-buruk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apa-lagi ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.
Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda. Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut. Menuju ke sana harus melewati empat kawasan pohon nipah, tempat berawa-rawa yang dianggap seram di kampung kami. Selain itu di sana juga tak jarang buaya sebesar pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau Belitong. Bagi Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah! Anak sekecil itu…
Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti-henti penuh minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong pelosok. Bola matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang apa engkau berlari? Begitulah makna tatapannya.
Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk ditanggung seorang anak kecil dalam waktu demikian singkat. Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru baru... semuanya ber 7 Nipah (Nipa fruticans): palem yang tumbuh merumpun dan subur di rawa-rawa daerah tropis, tingginya mencapai 8 meter, daunnya digunakan untuk bahan atap, tikar, keranjang, topi, dan payung. Nira dari sadapan perbungaannya digunakan untuk pembuatan gula dan alkohol.
Pilea/bunga meriam (Pilea microphylla atau artillery plant): tanaman ini berbentuk menyerupai pakis, dengan daun-daun hijau yang mungil. Daunnya mengandung tepung sari yang pada musim kemarau akan menebal dan jika terkena percikan air, tepung sari tersebut akan terlontar, atau seperti meledak sehingga disebut bunga meriam.campur aduk. Ditambah lagi satu perasaan ngilu karena sepasang sepatu baru yang dibelikan ibuku. Sepatu ini selalu kusembunyikan ke belakang. Aku selalu menekuk lututku karena warna sepatu itu hitam bergaris-garis putih maka ia tampak seperti sepatu sepak bola, jelek sekali. Bahannya pun dari plastik yang keras. Abang-abangku sakit perut menahan tawa melihat sepatu itu waktu kami sarapan pagi tadi. Tapi pandangan ayahku menyuruh mereka bungkam, membuat perut mereka kaku. Kakiku sakit dan hatiku malu dibuat sepatu ini.
Читать дальшеИнтервал:
Закладка:
Похожие книги на «Laskar Pelangi»
Представляем Вашему вниманию похожие книги на «Laskar Pelangi» списком для выбора. Мы отобрали схожую по названию и смыслу литературу в надежде предоставить читателям больше вариантов отыскать новые, интересные, ещё непрочитанные произведения.
Обсуждение, отзывы о книге «Laskar Pelangi» и просто собственные мнения читателей. Оставьте ваши комментарии, напишите, что Вы думаете о произведении, его смысле или главных героях. Укажите что конкретно понравилось, а что нет, и почему Вы так считаете.