Jalanan berakhir di sebuah dinding batu, dan bangunan terakhir di sebelah kanan adalah sebuah kedai minum yang bobrok dengan dinding tanah liat putih dan atap jerami, yang nampaknya telah melewati masa keemasannya. Dari penampilan orang-orang yang keluar masuk, Erec merasa inilah tempat yang tepat.
Erec turun dari kudanya, mengikat kudanya dengan aman di sebuah pos, dan melesat masuk melalui pintu. Waktu ia masuk, ia berhenti, terpana.
Tempat itu remang-remang, satu ruangan besar dengan beberapa obor berkedip di dinding dan api yang hampir redup di perapian. Permadani digelar dimana-mana, di sana terbaring sejumlah wanita, hampir telanjang, diikat oleh tali tebal satu sama lain ke dinding. Mereka tampak sedang dibius – Erec dapat mencium bau opium di udara, dan melihat sebuah pipa diedarkan. Beberapa pria berjalan melewati ruangan, menendang dan meraba kaki para wanita di sana sini, seolah sedang memeriksa suatu barang dan memutuskan mana yang akan dibeli.
Jauh di pojokan duduk seorang pria di kursi beludru merah, mengenakan jubah sutra. Para perempuan dirantai di sisinya. Berdiri di belakangnya seorang pria tinggi berotot, wajah mereka penuh bekas luka, mereka lebih tinggi dan besar daripada Erec, tatapannya seolah mereka akan sangat senang jika harus membunuh seseorang.
Erec melangkah ke tengah dan menyadari apa yang sedang terjadi: ini adalah sebuah toko seks, para wanita ini disewakan, dan pria di pojokan itu adalah makelarnya, pria yang telah menculik Alistair – dan mungkin dia juga menculik semua wanita ini. Bahkan mungkin Alistair juga ada di ruangan ini.
Ia segera bertindak, dengan marah bergegas melalui hamparan wanita dan menelusuri mereka satu per satu. Ada lusinan wanita di ruangan ini, beberapa di antaranya pingsan, dan ruangan ini sangat gelap sehingga sulit mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia menatap wajah mereka satu per satu, berjalan di tiap lajur ketika mendadak sebuah telapak tangan besar memukulnya di dadanya.
“Apa kau sudah bayar?” tanya sebuah suara kasar.
Erec mendongak dan melihat seorang pria besar berdiri di depannya, memandangnya marah.
“Kau ingin melihat-lihat wanita ini, kau harus bayar,” bentak pria itu dengan suara berat. “Itu peraturannya.”
Erec melotot ke arah pria itu, merasakan kebencian tumbuh di dalam dirinya. Sebelum pria itu dapat mengedipkan mata, Erec mengulurkan tangan dan mencengkeramnya dengan ujung telapak tangannya, tepat di kerongkongan pria itu.
Pria itu terengah-engah, matanya terbuka lebar, lalu ia terjatuh di lututnya, memegang tenggorokannya. Erec mengulurkan tangannya lagi dan menyodok pelipis pria itu, dan ia terjatuh dengan wajah lebih dulu.
Erec berjalan cepat melalui barisan, menelusuri wajah-wajah para wanita dengan putus asa, mencari Alistair. Tapi ia tak kelihatan. Ia tak ada di sini.
Jantung Erec berdetak keras saat ia bergegas menuju pojok ruangan, kearah pria tua yang duduk di sana, melihat semuanya.
“Sudahkah kau temukan mana yang kau suka?” tanya pria itu.”Sesuatu yang ingin kau tawar?”
“Aku mencari seorang wanita,” kata Erec, suaranya mengeras, mencoba untuk tetap tenang, “dan aku hanya akan mengatakan ini satu kali. Dia tinggi, rambutnya pirang panjang dan matanya hijau kebiruan. Namanya Alistair. Dia dibawa dari Savaria sehari atau dua hari yang lalu. Ada yang bilang dia dibawa ke sini. Benarkah itu?”
Pria itu dengan perlahan menggelengkan kepalanya, muram.
“Barang yang kau cari sudah terjual, sayangnya,” kata pria itu. “Makhluk sempurna. Seleramu bagus. Pilih yang lainnya, dan aku akan memberimu potongan harga.”
Erec murka, merasa sebuah amarah menggelegak dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Siapa yang membawanya?” Erec geram.
Pria itu tersenyum.
“Ya ampun, sepertinya kau hanya ingin budak yang satu itu.”
“Dia bukan budak,” raung Erec. “Dia istriku.”
Pria itu menatapnya kembali, terkejut – kemudian mendongak dan tertawa keras.
“Istrimu! Cantik juga. Tidak lagi, temanku. Sekarang ia mainan milik seseorang.” Lalu wajah penjaga penginapan itu menjadi gelap, berubah semurka iblis, lalu ia memberi isyarat pada tukang pukulnya seraya berkata. “Sekarang bereskan sampah ini.”
Dua orang berotot maju ke muka, dengan kecepatan yang mengejutkan Erec. Keduanya mendekat ke arah Erec dengan segera, menggapaikan tangan hendak mencengkeram dadanya.
Tapi mereka tidak sadar siapa yang mereka serang. Erec lebih cepat daripada mereka berdua, ia menghindar dari mereka, menarik salah satu pergelangan tangan mereka dan memelintirnya ke belakang sampai para pria itu terjatuh dengan punggungnya, kemudian saling menyikut tenggorokan satu sama lain. Erec melangkah ke depan dan membanting leher pria itu ke lantai, membuatnya pingsan. Kemudian membungkuk dan membenturkan kepalanya ke pria yang satunya, tepat di tenggorokannya sampai ia terkapar.
Kedua tukang pukul itu terbaring di sana, pingsan. Lalu Erec melangkahi tubuh mereka ke arah si penjaga penginapan, yang gemetaran di kursinya, matanya terbelalak ketakutan.
Erec mencengkeram rambut pria itu, menyentakkan kepalanya dan mengarahkan belati ke arah tenggorokan pria itu.
“Katakan di mana dia dan aku mungkin akan membiarkanmu hidup,” seru Erec.
Pria itu tergagap.
“Aku akan mengatakannya padamu, tapi kau hanya buang-buang waktu,” jawabnya. “Aku menjualnya pada seorang bangsawan. Ia punya tentara sendiri dan tinggal di kastilnya sendiri. Ia seorang yang sangat berkuasa. Kastilnya tak bisa ditembus. Lagipula prajuritnya sangat banyak. Ia orang yang sangat kaya – ia punya pasukan sewaan yang siap melakukan perintahnya kapanpun. Setiap gadis yang dibelinya, dijaganya. Tak mungkin kau bisa mendapatkannya kembali. Kembalilah ke tempat asalmu. Gadis itu sudah tidak ada.”
Erec menekan belati itu semakin kuat ke tenggorokan pria itu sampai darahnya mulai mengucur, dan pria itu mulai menjerit.
“Di mana bangsawan itu?” desis Erec, kehilangan kesabaran.
“Kastilnya ada di barat kota. Pergilah ke Gerbang Barat kota dan kastil itu tak jauh dari sana. Kau akan melihatnya. Tapi itu sia-sia. Ia membayar banyak uang untuk gadis itu – lebih daripada harga yang seharusnya.”
Erec tak tahan lagi. Tanpa berpikir panjang, ia memotong tenggorokan makelar seks itu, membunuhnya. Darah mengalir di mana-mana saat pria itu terbujur lemas di kursinya, mati.
Erec memandang ke arah mayatnya, ke arah para tukang pukul yang pingsan, dan merasa muak dengan tempat ini. Ia tak percaya tempat semacam ini benar-benar ada.
Erec berjalan menyusri ruangan dan mulai membuka tali yang mengikat semua wanita di situ, memotong tali yang tebal, membebaskan mereka satu per satu. Beberapa bangkit dan berlari ke arah pintu. Ruangan itu menjadi lengang, dan mereka semua berhamburan ke arah pintu. Beberapa terlalu mabuk untuk bangkit dan yang lainnya menolongnya.
“Siapapun dirimu,” satu wanita berkata pada Erec, berhenti sebelum ia keluar dari pintu, “diberkatilah kau. Dan ke manapun kau akan pergi, semoga Tuhan menolongmu.”
Erec menghargai rasa terima kasih dan berkat itu. Dan perasaannya mengatakan, ke mana ia akan pergi sekarang, ia akan membutuhkannya.
Fajar menyingsing, menyeruak dari jendela kecil pondok Illepra, menerpa mata Gwendolyn yang tertutup, dan membangunkannya perlahan. Matahari pertama yang berwarna jingga pucat, membelainya, membangunkannya di kesunyian pagi. Ia mengejap-ngejapkan matanya beberapa kali, mula-mula merasa bingung, heran ada di mana ia saat itu. Lalu ia pun menyadari:
Godfrey.
Gwen telah jatuh tertidur di lantai pondok, terbaring di kasur jerami dekat pembaringan Godfrey. Illepra tertidur tepat di sisi Godfrey, dan itu adalah malam panjang untuk mereka bertiga. Godfrey merintih sepanjang malam, tubuhnya menggigil dan gelisah. Dan Illepra merawatnya sekuat tenaga. Gwen berusaha membantu sebisanya, membawakan kain basah, memerasnya, mengompreskannya di kening Godfrey dan membawakan Illepra obat-obatan dan salep yang dimintanya terus menerus. Malam itu tampaknya tak pernah berakhir. Berulang kali Godfrey menjerit, dan ia merasa yakin Godfrey sedang sekarat. Berulang kali ia memanggil nama ayah mereka, dan Gwen merasa bergidik. Ia dapat merasakan kehadiran ayahnya, melayang-layang di antara mereka. Ia tak tahu apakah ayahnya ingin anak lelakinya ini hidup atau mati – hubungan mereka tak terlalu baik.
Читать дальше