Caitlin membuat dirinya membayangkan ia kembali ke kehidupan normalnya. Pergi bersama dengan semua temannya, pergi ke pesta-pesta, ada di sekolah yang normal, dan lulus. Ia menyukai perasaan itu. Untuk beberapa saat, ia mencoba lebih keras untuk mendorong semua peristiwa minggu kemarin keluar dari pikirannya. Ia membayangkan bahwa tidak ada hal buruk yang telah terjadi.
Namun saat ia berpaling dan melihat Caleb, dan kenyataan mulai membanjir kembali. Hidupnya telah berubah. Secara permanen. Dan hidupnya tidak akan pernah berubah kembali. Ia hanya harus menerimanya.
Belum lagi ia telah membunuh seseorang, dan polisi sedang mencarinya. Atau bahwa hanya masalah waktu sampai mereka menangkapnya, di suatu tempat. Atau fakta bahwa seluruh ras vampir sedang mencari untuk membunuhnya. Atau bahwa pedang yang sedang ia cari bisa menyelamatkan banyak kehidupan manusia.
Hidup pasti bukan tentang bagaimana kehidupan itu rasanya, dan tidak akan pernah seperti itu. Dia harus hanya menerima kenyataan saat ini.
Caitlin meletakkan tangannya ke lengan Caleb, dan membimbingnya menuju pintu depan. Para Coleman. Ia tahu di mana mereka tinggal, dan yang bisa dipahami, Sam mampir ke sana. Jika dia tidak ada di sekolah, maka dia mungkin ada di sana sekarang. Itulah ke mana mereka harus pergi selanjutnya.
Saat mereka berjalan keluar pintu depan dan menuju ke udara segar, ia kagum pada seberapa baik rasanya untuk berjalan keluar dari sekolah ini lagi—dan kali ini untuk selamanya.
*
Caitlin dan Caleb berjalan melintasi rumah Coleman, salju di rerumputan berderak di bawah kakinya. Rumah itu sendiri tidak jauh – peternakan sederhana diatur di sisi jalan pedesaan. Namun di jalan belakangnya, di bagian belakang rumah, ada sebuah lumbung. Caitlin melihat semua truk pengangkut tua yang diparkir sembarangan di halaman, dan bisa melihat jejak-jejak kaki di es dan salju, dan ia tahu banyak lalu-lalang yang mengarah menuju lumbung.
Itulah yang anak-anak lakukan di Oakville – mereka nongkrong di lumbung masing-masing. Oakville adalah pedesaan yang sama seperti daerah pinggir kota, yang memberi mereka kesempatan untuk berkumpul dalam bangunan yang jauh dari rumah orang tuamu, sehingga mereka tidak tahu atau tidak peduli dengan apa yang kalian lakukan. Itu jauh lebih baik daripada nongkrong di ruang bawah tanah. Orang tua kalian tidak bisa mendengar apa pun. Dan kalian memiliki pintu masuk sendiri. Serta pintu keluar.
Caitlin menarik napas dalam-dalam saat ia berjalan menuju lumbung dan mendorong pintu kayu yang berat.
Hal pertama yang menerpanya adalah bau itu. Cerek. Uapnya menggantung di udara.
Uap itu, bercampur dengan bau bir yang apek. Sangat tidak tertahankan.
Kemudian yang melandanya—lebih dai apa pun—bau seekor hewan. Ia tidak pernah merasakan rasa setajam itu sebelumnya. Keterkejutan atas keberadaan hewan itu segera melanda inderanya, seolah-olah ia baru saja mencium amonia.
Ia melihat ke sebelah kanannya dan mengamatinya. Di sana, di pojokan, ada seekor Rottweiler besar. Anjing itu bangkit perlahan-lahan, menatapnya, dan menggeram. Anjing itu kemudian menggeram dengan suara parau pelan. Itu adalah Butch. Ia mengingatnya sekarang. Rottweiler menjijikkan milik keluarga Coleman. Seolah-olah keluarga Coleman memerlukan seekor hewan ganas untuk menambahkan gambaran penganiayaan mereka.
Keluarga Coleman selalu menjadi berita buruk. Tiga bersaudara—17, 15, dan 13—entah sejak kapan, Sam telah berteman dengan saudara tengah, Gabe. Masing-masing lebih buruk dibandingkan saudara selanjutnya. Ayah mereka telah meninggalkan mereka sejak lama, tidak ada yang tahu ke mana, dan ibu mereka tidak pernah ada. Pada dasarnya, mereka tumbuh sendirian. Kendati seusia itu, mereka senantiasa mabuk atau teler, dan bolos sekolah lebih banyak dibandingkan masuk sekolah.
Caitlin merasa jengkel karena Sam nongkrong dengan mereka. Itu tidak bisa mengarah ke hal yang bagus.
Musik terlantun di latar belakang. Pink Floyd. Wish You Were Here.
Figur, pikir Caitlin.
Ruangan itu gelap, khususnya dibandingkan hari cerah saat itu, dan membuat matanya memerlukan beberapa detik agar sepenuhnya terbiasa.
Di sanalah dia berada. Sam. Duduk di tengah sofa lusuh, dikelilingi oleh selusin remaja pria. Gabe di salah satu sisi dan Brock di sisi lainnya.
Sam mmebungkuk di depan sebuah bong. Dia baru saja selesai menyedot, lalu meletakkannya dan bersandar, menghirup udara dan menahannya agak lama. Dia akhirnya menghembuskannya.
Gabe menepuknya, dan Sam mendongak. Dengan tatapan membatu, dia menatap Caitlin. Matanya merah.
Cautlin merasakan rasa sakit mencabik perutnya. Ia amat kecewa. Ia merasa seolah-olah itu semua adalah kesalahannya. Ia mengingat kali terakhir mereka bertemu, di New York, saat pertengkaran mereka. Kata-kata kasarnya. “Pergi!” bentaknya. Mengapa ia harus menjadi begitu kasar? Mengapa ia tidak bisa mempunyai kesempatan untuk menariknya kembali?
Sekarang sudah terlambat. Jika ia memilih kata-kata yang berbeda, mungkin beberapa hal tidak akan menjadi berbeda sekarang.
Ia juga merasakan gelombang kemarahan. Marah kepada para Coleman, marah kepada semua laki-laki dalam lumbung ini yang duduk di sekitar sofa lusuh dan kursi, di atas tumpukan rumput kering, semua duduk berkeliling, minum, merokok, tidak berbuat apa-apa dengan kehidupan mereka. Mereka bebas untuk tidak melakukan apa-apa dengan kehidupan mereka. Namun mereka tidak bebas untuk menyeret Sam ke dalamnya. Dia lebih baik dari mereka. Dia hanya tidak pernah mendapatkan bimbingan. Tidak pernah memiliki sosok ayah, dan kebaikan dari ibu mereka. Dia adalah anak yang hebat, dan ia tahu bahwa dia bisa menjadi yang terbaik dari kelasnya saat ini seandainya dia mempunyai sebauh rumah yang semi-stabil. Namun dalam beberapa hal, itu sudah terlambat. Dia hanya berhenti peduli.
Ia mengambil beberapa langkah lebih dekat kepadanya. "Sam?" tanyanya.
Dia hanya balas menatap, tidak mengatakan sepatah kata pun.
Sangat sulit melihat apa yang ada dalam tatapan itu. Apakah itu obat-obatan? Apakah dia berpura-pura tidak peduli? Ataukah dia memang tidak peduli?
Tatapan apatisnya menyakiti Caitlin lebih dari apa pun. Ia telah mengantisipasi dia akan merasa gembira bertemu dengannya, berdiri dan memberinya sebuah pelukan. Bukan seperti ini. Dia sama sekali tidak terlihat peduli. Seolah-olah ia adalah orang asing. Apakah dia hanya bertingkah keren di depan teman-temannya? Ataukah ia benar-benar telah mengacaukan segalanya kali ini?
Beberapa detik telah berlalu, dan akhirnya, dia memalingkan muka, menyerahkan bong ke salah satu temannya. Dia tetap melihat teman-temannya, mengabaikan Caitin.
"Sam!" hardiknya, lebih keras, wajahnya merona dengan rasa marah. "Aku berbicara kepadamu!"
Ia mendengar suara terkekeh dari teman-teman pecundangnya, dan ia merasakan kemarahan naik dalam gelombang di dalam tubuhnya. Ia mulai merasakan suatu hal lain. Insting hewan. Kemarahan dalam dirinya memancar pada suatu titik di mana itu hampir melampaui kendalinya, dan ia takut bahwa rasa itu segera akan melewati batas. Rasa itu bukan lagi manusia. Rasa itu akan menjadi hewan.
Para laki-laki itu bertubuh besar, namun kekuatan yang naik dalam pembuluhnya memberitahu kepadanya bahwa ia bisa menangani yang mana pun dari mereka dalam sekejap. Ia sudah mengalami peristiwa sulit yang berisikan kemarahannya, dan ia berharap ia menjadi cukup kuat untuk melakukannya.
Pada saat yang sama, Rottweiler itu mengeluarkan geramannya, ketika anjing itu perlahan-lahan berjalan ke arahnya. Seolah-olah anjing itu merasakan sesuatu akan muncul.
Ia merasakan sebuah tangan lembut di bahunya. Caleb. Dia masih ada di sana. Dia pasti telah merasakan kemarahannya timbul, insting hewan di antara mereka. Dia mencoba menenangkan Caitlin, memberitahunya untuk mengendalikan dirinya, tidak membiarkan dirinya lepas kendali. Keberadaannya menenangkan Caitlin. Tapi tidak semudah itu.
Читать дальше