"Ya Tuhan!" Tambah Luisa dengan riang, merentangkan lengannya lebar-lebar untuk memeluk. Sebelum Caitlin bisa bereaksi, Luisa sudah memeluknya. Caitlin balas memeluknya. Rasanya menyenangkan melihat wajah yang familiar.
"Apa yang terjadi denganmu?" Luisa bertanya, berbicara dengan cepat dan riang, seperti biasanya, sedikit aksen Latinnya mengalir keluar, seperti saat dia baru saja pindah ke sini dari Puerto Rico beberapa tahun sebelumnya. "Aku bingung sekali! Aku kira kau pindah!? Aku mengirim SMS dan IM kepadamu, tapi kau tidak pernah membalas –"
"Aku minta maaf," kata Caitlin. "Aku kehilangan ponselku, dan aku belum ada di dekat komputer sama sekali, dan–"
Luisa tidak mendengarkan. Dia baru saja menyadari Caleb, dan dia sedang menatapnya, terpesona. Mulutnya hampir-hampir menganga.
"Siapa temanmu itu?" akhirnya dia bertanya, hampir berbisik. Caitlin tersenyum: ia tidak pernah melihat temannya begitu salah tingkah sebelumnya.
"Luisa, ini Caleb," kata Caitlin.
"Senang berjumpa denganmu," ujar Caleb, balas tersenyum, mengulurkan tangannya.
Luisa hanya tetap menatapnya. Dia perlahan-lahan mengulurkan tangannya, dengan linglung, jelas-jelas terlalu terkejut untuk berbicara. Dia menatap Caitlin, tidak paham bagaimana Caitlin bisa membawa pria semacam itu. Dia menatap Caitlin dengan cara yang berbeda, hampir seolah-olah dia tidak pernah tahu siapa Caitlin sebelumnya.
"Mm..." Luisa memulai, matanya melebar, "...mm...begini...di mana...begini...bagaimana kalian bertemu?"
Untuk sedetik, Caitlin bingung bagaimana menjawabnya. Ia membayangkan menceritakan semuanya kepada Luisa, dan tersenyum atas gagasan itu. Itu tidak akan berhasil.
"Kami bertemu...setelah sebuah konser," kata Caitlin.
Setidaknya sebagiannya benar.
"OMG, konser apa? Di kota? Black Eyed Peas!?” dia bertanya dengan cepat, “Aku iri sekali! Aku sangat ingin bertemu mereka!"
Caitlin tersenyum karena membayangkan Caleb di sebuah konser rock. Entah kenapa, ia tidak merasa dia cocok di sana.
"Mm...tidak persis seperti itu," kata Caitlin. "Luisa, dengar, maaf karena tidak menjawabmu, tapi aku tidak punya banyak waktu. Aku harus tahu di mana Sam berada. Apakah kau melihatnya?"
"Tentu saja. Semua orang melihatnya. Dia kembali minggu kemarin. Dia kelihatan aneh. Aku bertanya padanya di mana kau berada dan apa urusannya, tapi dia tidak mau memberitahu aku. Dia mungkin tersingkir ke lumbung kosong yang dia sukai."
"Tidak," jawab Caitlin. "Kami baru saja ke sana."
"Sungguh? Maaf. Aku tidak tahu. Dia kelas sepuluh, kan? Kami jarang berselisih jalan. Sudahkah kau mencoba meng-IM dia? Dia selalu aktif di Facebook."
"Aku belum punya ponsel baru—" Caitlin memulai.
"Pakai punyaku," tukas Luisa, dan sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, dia menjejalkan ponselnya ke tangan Caitlin.
"Facebook-nya sudah terbuka. Masuk saja dan kirimi dia pesan."
Tentu saja, pikir Caitlin. Kenapa aku tidak terpikir ke sana?
Caitlin masuk ke akunnya, mengetikkan nama Sam di kotak pencarian, menampilkan profilnya, dan mengklik pesan. Ia bimbang, bertanya-tanya apa persisnya yang harus ia tuliskan. Lalu ia mengetikkan; "Sam. Ini aku. Aku ada lumbung. Datanglah untuk menemui aku. SEGERA."
Ia mengklik kirim dan mengembalikan ponsel itu kepada Luisa.
Caitlin mendengar keributan, dan berbalik.
Sekelompok gadis senior paling populer menuju ke lorong, tepat ke arah mereka. Mereka berbisik. Dan semuanya menatap langsung ke arah Caleb.
Untuk pertama kalinya, Caitlin merasakan sebuah emosi baru muncul dalam dirinya. Cemburu. Ia bisa melihat dalam mata mereka bahwa gadis-gadis ini, yang tidak pernah memerhatikan dirinya sebelumnya, akan dengan senang hati menarik Caleb diam-diam dalam sekejap. Gadis-gadis ini telah memikat semua laki-laki di sekolah, cowok mana pun yang mereka inginkan. Tidak peduli apakah mereka punya pacar atau tidak. Kau hanya berharap mereka tidak menatap cowokmu.
Dan sekarang mereka semua menatap Caleb.
Caitlin berharap dan berdoa, semoga Caleb kebal dengan kekuatan mereka. Karena dia mungkin masih menyukai Caitlin. Namun meskipun ia memikirkannya, ia tidak bisa memahami mengapa dia Caleb harus melakukannya. Ia gadis yang biasa-biasa saja. Mengapa dia mau tetap tinggal bersamanya ketika gadis-gadis seperti ini bersedia bersaing untuk mendapatkan dia?
Caitlin berdoa dalam hati bahwa gadis-gadis itu akan terus berjalan. Kali ini saja.
Namun, tentu saja, mereka berhenti. Jantungnya berdegup saat kelompok gadis itu berpaling dan berjalan tepat ke arah mereka.
"Hai Caitlin," salah satu gadis berkata kepadanya, dengan suara manis yang dibuat-buat.
Tiffany. Gadis tinggi dengan rambut pirang lurus, mata biru, dan sekurus tongkat. Mengenakan pakaian desainer dari kepala sampai kaki. "Siapa temanmu itu?"
Caitlin tidak tahu harus berkata apa. Tiffany, dan teman-temannya, tidak pernah menganggap Caitlin sama sekali. Mereka bahkan tidak pernah menoleh untuk melihatnya seperti saat ini. Ia terkejut karena mereka menyadari bahwa dirinya ada, dan mengetahui namanya. Dan sekarang mereka memulai percakapan. Tentu saja, Caitlin tahu itu tidak ada hubungannya dengan dirinya. Mereka menginginkan Caleb. Sangat menginginkannya sehingga bisa membuat mereka merendahkan diri mereka untuk berbicara kepadanya.
Ini bukan pertanda bagus.
Caleb pasti telah merasakan ketidaknyamanan Caitlin, karena dia mengambil satu langkah lebih dekat ke arahnya dan meletakkan satu tangannya merangkul bahunya.
Caitlin tidak pernah lebih bersyukur untuk setiap gerakan dalam hidupnya.
Dengan keyakinan barunya, Caitlin menemukan kekuatan untuk berbicara. "Caleb," jawabnya.
"Jadi, begini, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya gadis lainnya. Bunny. Dia adalah replika dari Tiffany, kecuali rambut coklatnya. "Aku kira kau, eh, pergi atau semacamnya."
"Yah, aku kembali," jawab Caitlin.
"Jadi, apakah kau...juga orang baru di sini?" Tiffany bertanya kepada Caleb. "Apakah kau seorang senior?"
Caleb tersenyum. "Ya, aku orang baru di sini," jawabnya penuh rahasia.
Mata Tiffany menyala, karena dia mengira itu berarti bahwa Caleb adalah siswa baru di sekolah mereka. "Bagus," ujarnya. "Ada semacam pesta malam ini, jika kau mau datang. Pestanya ada di rumahku. Hanya untuk beberapa teman dekat, tapi kami akan gembira jika kau datang. Dan...mm...sepertinya, kau juga," ujar Tiffany, menatap Caitlin.
Caitlin merasakan kemarahan semakin besar dalam dirinya.
"Aku menghargai undangannya, nona-nona," kata Caleb, "tapi maaf karena aku mengatakan bahwa Caitlin dan aku sudah punya janji penting malam ini."
Caitlin merasakan hatinya menggembung.
Aku menang.
Saat ia melihat runtuhnya ekspresi mereka, seperti deretan domino, ia belum pernah merasa begitu terbukti benar.
Gadis-gadis memalingkan hidung mereka dan menyelinap pergi.
Caitlin, Caleb, dan Luisa berdiri di sana, sendirian. Caitlin menghela napas.
"Ya Tuhan!" kata Luisa. "Cewek-cewek itu tidak pernah menganggap siapa pun sebelumnya. Apalagi ditambah dengan undangan."
"Aku tahu itu," kata Caitlin, masih terpana.
“Caitlin!” Luisa tiba-tiba berseru, mengulurkan tangan dan meraih lengannya, "Aku baru saja ingat. Susan. Dia mengatakan sesuatu tentang Sam. Minggu kemarin. Katanya, dia nongkrong dengan para Coleman. Aku minta maaf, hal itu baru saja terlintas dalam pikiranku. Mungkin itu bisa membantu."
Para Coleman. Tentu saja. Di sanalah dia seharusnya berada.
"Oh ya," Luisa meneruskan, dengan terburu-buru, "kami semua berkumpul malam ini di tempat Frank. Kau harus datang! Kami sangat merindukanmu. Dan tentu saja, bawa Caleb. Ini akan menjadi pesta yang menakjubkan. Setengah kelas akan datang. Kau harus datang.”
"Yah... Aku tidak tahu –"
Bel berbunyi.
"Aku harus pergi! Aku sangat senang kau kembali. Aku sayang padamu. Telepon aku. Dah!" ujar Luisa, melambai kepada Caleb, dan berbalik lalu berlari menyusuri lorong.
Читать дальше